Selasa, 09 Februari 2016
Warga Etnis Tionghoa Bergembira Ria Merayakan Tahun Baru Imlek
Kata Imlek (Im=bulan,
Lek=penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau Bahasa Mandarin-nya Yin Li yang berarti kalender bulan
(Lunar Newyear). Menurut sejarah, Imlek
merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di China yang
biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan
ini juga berkaitan erat dengan pesta perayaan datangnya musim semi. Perayaan
imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan
pertama atau yang lebih dikenal dengan istilah Cap
Go Meh. Perayaan Imlek meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada
Sang Pencipta/Thian (Thian=Tuhan dalam Bahasa
Mandarin), dan perayaan Cap Go Meh.
Tujuan dari sembahyang Imlek adalah sebagai bentuk pengucapan syukur, doa dan
harapan agar di tahun depan mendapat rezeki yang lebih banyak, untuk menjamu
leluhur, dan sebagai media silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.
Imlek adalah tradisi pergantian tahun. Sehingga yang merayakan Imlek ini
seluruh etnis Tionghoa apapun agamanya, bahkan menurut Sidharta, Ketua Walubi,
masyarakat Tionghoa Muslim juga merayakan Imlek.
Perayaan Imlek mulai dikenal sejak jaman Dinasti Xia, yang kemudian menyebar
ke penjuru dunia, termasuk Indonesia oleh para perantau asal Cina. Tradisi
tahunan itu pun di kenal luas sebagai identitas budaya Tionghoa di tanah
perantauan.
Di Indonesia, selama tahun
1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan
Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya
Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di
Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun
2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian
Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai
hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada
tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.
Praktik
perayaan tahun baru Imlek di Indonesia
Tahun baru Imlek biasanya
berlangsung sampai 15 hari. Pada hari raya Imlek, bagi etnis Tionghoa adalah
suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti, dalam
upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu
bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng
(hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur). Oleh sebab itu,
pada Hari Raya Imlek anggota keluarga akan mengunjungi rumah anggota keluarga
yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Atau
mengunjungi rumah abu tempat penitipan lingwei leluhur untuk bersembahyang.
Pada malam tanggal 8 menjelang
tanggal 9 pada saat Cu Si (jam 23:00-01:00) Umat melakukan sembahyang lagi.
Sembahyang ini disebut Sembahyang “King Thi Kong” (Sembahyang Tuhan Yang Maha
Esa) dan dilakukan di depan pintu rumah menghadap langit lepas dengan
menggunakan altar yang terbuat dari meja tinggi berikut sesaji, berupa Sam-Poo
(teh, bunga, air jernih), Tee-Liau (teh dan manisan 3 macam), Mi Swa, Ngo Koo
(lima macam buah), sepasang Tebu, dan tidak lupa beberapa peralatan seperti
Hio-Lo (tempat dupa), Swan-Loo (tempat dupa ratus/bubuk), Bun-Loo (tempat
menyempurnakan surat doa) dan Lilin Besar.
Pada hari Cap Go Meh, tanggal 15
Imlek saat bulan purnama, Umat melakukan sembahyang penutupan tahun baru pada
saat antara Shien Si (jam 15:00-17:00) dan Cu Si (jam 23:00-01:00). Upacara
sembahyang dengan menggunakan Thiam hio atau upacara besar ini disebut
Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie). Sembahyang kepada Tuhan adalah wajib
dilakukan, tidak saja pada hari-hari besar, namun setiap hari pagi dan malam,
tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari lainnya.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek
Diandra Candle : Produsen Lilin Ukir di Malang
Di Indonesia belum banyak yang membuat lilin ukir, bahkan
baru satu produsen lilin terletak kota Malang tepatnya di Jl. Danau Matana II,
Sawojajar, Adalah Dedy Wirabuana (35) pemilik Diandra Candle yang menekuni
kerajinan lilin ukir. Bermula dari keinginan untuk berwirausaha, Dedy mencari
berbagai macam wacana jenis usaha. Akhirnya pada tahun 2010 dia memilih
kerajinan ini.
Untuk pemasaran, lilin ukir sukses tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia,
meliputi Jakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,
dan Ambon,
tapi juga mancanegara. Dedi menyebut, konsumennya ada yang berasal dari
Tiongkok, Inggris, dan Australia
Teryata pilihan usaha ini sangat tepat karena belum ada
pesaing, dan berkat kerja kerat dan ketekunannya, kerajinan ini berhasil dia
kuasai. Hasil produksi lilin ukir ini penjualannya laku keras dipasaran, karena
memang belum ada yang memproduksi kerajinan ini.
Untuk membuat lilin ukir, banyak proses yang harus dilalui.
Pertama soal bahan, dimana dia menggunakan paraffin wax. Di Indonesia, paraffin
wax jarang digunakan untuk bentuk-bentuk lilin. ”Lebih sering untuk batik.
Bahkan, untuk mie instan juga,” ujar pria 35 tahun tersebut.
Karakteristik paraffin wax yang lebih elastis dan tidak
gampang pecah menjadi ideal ketika bahan itu dipakai untuk kerajinan lilin
ukir. Proses pertama, paraffin wax dilelehkan, lalu dimasukkan dalam cetakan
berbentuk segi enam.
Setelah diberi warna, lilin kemudian diukir mengikuti pola
yang sudah dibuat. Terakhir, dilakukan finishing dengan memberikan olesan
lilin. Secara sederhananya seperti itu, meski dalam kenyataannya bukan hal
mudah membuat lilin ukir.
Motif lilin ukir yang diproduksi olehnya adalah floral
bergaya Eropa. Ukurannya pun pun cukup variatif, mulai dari 6 Cm hingga 30 Cm.
Dengan dibantu oleh satu orang temannya, Dedy mampu memproduksi 3000 lilin
dalam waktu sehari. “Maksimal produksi tidak bisa lebih dari itu, karena
kekurangan pengrajin,” ujarnya.
Dedy membuat yang terkecil setinggi 6 sentimeter hingga yang
terbesar 30 sentimeter. Untuk harganya, mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 125 ribu.
Kamis, 04 Februari 2016
Kampung Coklat Blitar
Sejarah Kampung Coklat
Kampung coklat didirikan oleh Bapak Kholid Mustofa pada tahun 2000 pada kebun seluas 750m2 milik keluarga. untuk mendalami budidaya kakao beliau magang di PTPN XII Blitar dan Puslit Kota Jember. Setelah selesai magang, akhirnya beliau menekuni budidaya kakao dengan mengajak beberapa rekan yang kemudian membentuk Gapoktan Guyub Santoso tanggal 1 Januari 2005. Pada perkembangannya Gapoktan Guyub Santoso membentuk badan hukum UD, CV dan KSU yang kesemuanya bernama Guyub Santoso dan bergerak di bidang pemasaran biji Kakao.
Gapoktan Guyub Santoso memulai memproduksi
olahan coklat sejak tahun 2013. Coklat dengan cita rasa original
ber-merk GuSant menjadi produk unggulan Guyub Santoso.
Paket Wisata
1. Original Chocolate @Rp17.500,-/pack
Fasilitas : Pembibitan Kakao,Pecah Buah Kakao,Pengolahan Kakao pasca panen,Cooking Class
Chocolate Mix,Opak Gambir Colek Coklat,Doorprize
2. Paket Milk Chocolate @Rp22.500/pack
Fasilitas : Pembibitan Kakao,Pecah Buah Kakao,Pengolahan Kakao pasca panen,Cooking Class,
Chocolate Mix, Sate Buah/ Bola-bola Colek Coklat,Doorprize
3. Paket Crispy Chocolate @Rp32.500/pack
Fasilitas : Pembibitan Kakao,Pecah Buah Kakao,Pengolahan Kakao pasca panen, Cooking Class
Chocolate Mix, Sate Buah/ Bola-bola Colek Coklat, Doorprize, Forum diskusi dengan
Pakar Budidaya, Analist dan Manajemen Kampung Coklat
Kampung coklat sebagai tempat wisata keluarga